Rabu, 05 Januari 2011

KEADILAN SOSIAL

“Selama lebih dari sepuluh tahun saya secara intensif mencoba menemukan makna istilah “keadilan sosial”. Usaha itu gagal; atau lebih tepatnya, pada akhirnya saya sampai kepada kesimpulan bahwa bagi masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia yang bebas kata itu sama sekali tak bermakna”.


Pernyataan di atas dibuat oleh pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi, Friedrich Hayek yang beraliran liberal, pada 1976. Manakala kita mencermati penggunaan istilah “keadilan sosial” dalam lingkungan politik saat ini, maka kebenaran dari pernyataan Hayek tersebut hampir tak terbantahkan.
Karena, apa yang hendak dicapai dengan tambahan kata “sosial” tersebut? Tanpa kata itupun “keadilan” dapat didefinisikan dengan jelas. Keadilan merupakan suatu prinsip universal yang dapat dijadikan takaran bagi semua tindakan politik dan yang legitimitas moralnya dapat diuji. Ini mensyaratkan antara lain aturan yang sama bagi semua orang.
Justru aturan yang sama bagi semua orang inilah yang tidak dikehendaki oleh pembela “keadilan sosial” terjadi dalam politik. Ia tidak menghendaki setiap orang diperlakukan sesuai dengan penerapan aturan yang sama. Ia ingin meredistribusi materi dalam suatu bentuk tertentu. Ini hanya dapat ia lakukan jika ia diperlakukan secara tidak sama. Berbeda dari orang-orang yang atas dasar kemanusiaan membantu mengurangi kemiskinan dan penderitaan, penganut “keadilan sosial” hendak menimbulkan kesan bahwa ada ukuran moral yang menyeluruh terhadap niat redistribusinya itu. Setiap orang harus mendapatkan apa yang memang sudah menjadi bagiannya. Padahal,  benar seperti yang Hayek kemukakan, tidak ada ukuran  yang seperti tersebut di atas.

“Tak ada seorang pun sampai hari ini yang telah berhasil menemukan satu-satunya aturan  umum untuk setiap kasus di mana aturan itu mungkin diterapkan.  Suatu aturan yang kiranya dapat dijadikan acuan untuk menyimpulkan apa sebenarnya ‘keadilan sosial’ itu.”
                                                                                   Friedrich August von Hayek, 1976

Apa tepatnya yang berhak diperoleh setiap orang? Tidak sedikit orang percaya bahwa setiap orang entah bagaimana caranya harus mendapatkan jatah dari seluruh benda materi yang memang diperuntukkan buat dirinya pribadi atau sebagai anggota kolektif. Namun, pertanyaan yang timbul sekarang adalah haruskah orang yang malas mendapatkan bagian yang sama seperti orang yang rajin? Atau tidak sama? Kalau tidak sama, bagaimana mengatur besar atau kecilnya hak mereka? Sampai hari ini pengetahuan manusia belum mampu menjawab pertanyaan ini dengan tepat.  Yang ada hanyalah harapan atas keadilan tuhan di alam baka atau - di dunia ini -  harapan atas hak-hak yang dipilih secara sembarangan. Tuntutan yang biasanya sangat bernuansa kekuasaan politik.
Justru karena “keadilan sosial” seperti ini bukan merupakan cita-cita yang dapat didefinisikan maka terbukalah ruang gerak yang hampir tak terbatas bagi terjadinya proses pengalihan suatu kelompok masyarakat kepada kelompok yang lain. Setiap orang dapat menerima, setiap orang dapat memberi (atau dengan formulasi yang lebih realistis: setiap orang dapat dipaksa untuk memberi). Sebenarnya tidak ada yang puas, karena tidak ada keadaan akhir yang dapat didefinisikan di mana “keadilan sosial” itu kiranya dapat terejawantahkan. Apabila suatu kelompok memperoleh hak istimewa maka kelompok yang lain juga harus mendapatkannya. Ini bisa berjalan dengan adanya  peminggiran kelompok tertentu (misalnya para penganggur yang menjadi korban sindikat perusahaan penentu tarif [Tarifkartell] yang dikehendaki pemerintah), dengan kehidupan yang mengorbankan generasi masa depan atau melalui hutang publik yang berlebihan.  
Semua gambaran tentang pembagian yang berdasarkan keadilan sosial mengakibatkan semakin meningkatnya praktek perwalian dalam suatu masyarakat.
Keadilan sebagai norma universal bagi apa yang layak menjadi hak setiap orang hanya punya makna jika tidak ada tuntutan yang bersifat sewenang-wenang terhadap orang lain. Tapi justru melindungi hak formal atas apa yang telah diperoleh seseorang  sebagai “miliknya sendiri”. Apa yang menjadi hak manusia adalah segala sesuatu yang telah ia peroleh tanpa melanggar hak orang lain.  Setiap manusia punya hak yang tidak bisa dibeli, yaitu hak atas perlindungan terhadap diri dan harta bendanya. Inilah gagasan liberal tentang keadilan. Tuntutannya bersifat sederhana dan manusiawi karena tidak menuntut di atas kemampuan pengetahuan manusia. Politik yang dapat melindungi kekebasan setiap orang dari paksaan dan kekerasan hanyalah dapat terwujud jika politik itu dilandasi gagasan keadilan seperti dimaksud di atas.
Lalu, bukankah keadilan yang seperti ini merupakan ekspresi dari kekejaman yang paling menakutkan seperti yang diduga oleh banyak penentang liberalisme?
Sama sekali tidak benar! Justru dengan asas perlindungan terhadap hak-hak milik pribadi tersebut liberalisme sekaligus juga telah menutup kemungkinan terjadinya eksploitasi dengan kekerasan yang seringkali dipraktekkan kekuasaan politik. Hampir semua bencana besar kemiskinan dan kelaparan dalam sejarah dunia disebabkan oleh penggunaan kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang – jadi bukan karena terlalu banyak kebebasan dalam arti liberal. Kemenangan atas kemiskinan merupakan salah satu kemenangan besar liberalisme. Sejauh ini para penganut liberal (kecuali Hayek) boleh saja mengklaim bahwa keadilan mereka adalah “keadilan ssosial”. “Sosial” oleh para penganut paham liberal dikembalikan lagi kepada makna asalnya seperti yang dapat ditemukan dalam tulisan Edmund Burke. Kebajikan-kebajikan materi negara liberal harus tetap dilandasi pada prinsip mempertahankan kebebasan dan persamaan hak umum.

“Kebebasan yang saya maksud adalah kebebasan sosial. Yaitu suatu keadaan di mana kekebasan itu terjamin oleh adanya persamaan batasan; suatu keadaan di mana tak ada manusia atau sekelompok manusia yang menggunakan kebebasannya sebagai alat untuk melanggar kebebasan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat. Kebebasan seperti pada hakikatnya adalah nama lain dari keadilan”                                                                              
Lagi pula, istilah “sosial” diambil dari bahasa Latin “societas” yang berarti masyarakat.  Tentu saja seluruh masyarakat harus dilayani, jadi bukan kepentingan-kepentingan terorganisir yang menyalahgunakan kekuasaan politik untuk tujuan pribadi. Seperti inilah pemahaman para bapak ekonomi pasar sosial (soziale Marktwirtschaft) tentang istilah sosial tersebut ketika mereka menyatakan bahwa sebuah negara liberal bukan  menjadi kuat karena melayani egoisme-egoisme kelompok, melainkan karena menentang egoisme-egoisme tersebut.
Kalau demikian, “keadilan sosial” kiranya telah menjadi kebalikan dari apa yang dipahami politik dewasa ini tentang istilah tersebut. “Keadilan sosial” pada dasarnya tidak lain daripada keadilan.
     

Literatur yang layak dibaca untuk topik “Keadilan Sosial” 
Detmar Doering: Soziale Gerechtigkeit: Die gefährliche Illusion? (Keadilan Sosial: Ilusi yang berbahaya?), dalam:  Reflexion, nr. 29, April 1993, h. 27ff
Ringkasan singkat  dan mudah dibaca yang membongkar sifat arkeistik dari pandangan-pandangan populer tentang “keadilan sosial”.
Friedrich August von Hayek: Recht, Gesetzgebung und Freiheit (Hukum, Pembuatan Undang-Undang dan Kebebasan), edisi kedua, Muenchen (Penerbit Moderne Industrie) 1986
Volume kedua dari trilogi  (aslinya dalam bahasa Inggris: Law, Legislation and Liberty, 1973ff) yang meneliti secara filosofis-hukum asas-asas suatu masyarakat bebas dari aspek liberal ini diberi judul yang tepat: “Ilusi Keadilan Sosial”.
 Wolfgang Kerstin: Theorien der sozialen Gerechtigkeit (Teori-Teori Keadilan Sosial). Stuttgart/Weimar (Penerbit J.B. Metzler) 2000
Pembahasan yang detil dan kritis dari sudut pandang filosofis dengan teori-teori terpenting tentang “keadilan sosial” (misalnya: Rawls).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar