Rabu, 05 Januari 2011

Konsep Pemikiran Ordo Liberalismus

Saat para pengkritik Liberalisme mencecar kerangka berfikir ekonomi pasar ataupun globalisasi dan berbagai manfaat yang ada didalamnya, secara membabi buta mereka tak bisa membedakan berbagai varian pemikiran yang ada dalam Liberalisme dan memukul rata menyebutnya neo-liberal.  Lebih parah lagi mereka selalu mengidentikkannya dengan aliran pemikiran yang awalnya berkembang di Universitas Chicago (Chicago School), Amerika Serikat.

Maka klop lah liberalisme dengan neo-liberal dan Amerika Serikat. Segala sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dianggap sebagai langkah neo-liberal dan sekaligus sebagai liberalisme.

Suatu kerancuan berfikir yang sesat.

Namun baiklah kita menengok suatu pemikiran yang pada zamannya disebut sebagai “neo-liberal” yang berkembang di Jerman, dan dikenal dengan sebutan Ordo Liberal atau Ordo Liberalismus.

Ordo Liberalismus atau dibaca Ordo Liberal adalah sebuah konsep, aliran pemikiran, yang dibangun pada akhir tahun 1920-an, oleh “lingkaran” para pemikir ekonomi-politik di Freiburg, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Freiburg School.”  Tokoh penganjur utama dari aliran pemikiran ini adalah Walter Eucken, yang acap disebut sebagai “Pimpinan Freiburg School.”  Tokoh terkenal lain pendukung gagasan ini adalah Alexander Rustow, Wilhelm Ropke, dan seorang pengacara bernama Franz Bohm.

Kemunculan Ordoliberalismus pada akhir 1920-an tersebut harus dipahami sebagai sebuah respon terhadap krisis ekonomi, sosial dan konstitusi, yang terjadi pada masa Republik Weimar. Ia harus dipahami sebagai sebuah “jawaban” liberal terhadap berbagai kegagalan penerapan ekonomi liberal yang terjadai pada abad ke-19, atau yang disebutkan oleh Rustow sebagai “Palaoliberalism,”  dengan beberapa tokohnya seperti Ludwig von Mises dan Friedrich Hayek. Sejalan dengan itu, Alexander Rüstow juga melontarkan kritiknya terhadap pandangan laissez-faire capitalism didalam karyanya Das Versagen des Wirtschaftsliberalismus (1950).

Sebuah respon spesifik dari gagasan liberal terhadap krisis yang mucul pada saat itu amatlah dibutuhkan, mengingat hanya ada dua alternatif pemikiran dominan mengenai negara pada saat itu, yaitu “statism” yang dipromosikan oleh para pemikir ekonomi Historic School (aliran sejarah), dan “sosialisme” pada sisi yang lain, yang banyak didukung oleh gerakan buruh.  Pemikiran “liberal yang lama” berpendirian bahwa tatanan sosial secara sederhana merupakan konsekuensi dari tiadanya lagi kebebasan individu.  Sebagai konsekuensi, ordo liberalismus menyatakan bahwa bahwa negara memiliki fungsi yang penting didalam tatanan ekonomi. Perbedaannya dengan ideologi liberal yang lama adalah, bukanlah terletak pada gagasan intervensi negara itu sendiri, tetapi lebih pada karakter dasar intervensi negara yang membuatnya berbeda dan menjadi alternative dari gagasan etatism  mupun sosialisme. Fungsi baru negara ini disebut sebagai “liberal interventionism” dan tokoh yang cukup mampu menjabarkannya dengan detail adalah William Röpke, yang juga menyebut ordoliberal sebagai “liberal conservatism,” sebagai lawan dari kapitalisme didalam karyanya Civitas Humana (A Humane Order of Society, 1944).

Didalam padangan ordo liberal, negara harus membangun dan memperkuat rezim hukum yang merupakan wujud representasi hakekat tatanan (ordo) kehidupan ekonomi. Rezim ini harus mampu memberikan jaminan otonomi kontrak yang dilakukan setiap individu, hak kepemilikan individual, kebebasan memperoleh pekerjaan atau berdagang, kebebasan bergerak bagi setiap individu, dan juga perlindungan hukum yang efekktif terhadap berbagai hak dan kebebasan tersebut. Sehingga tugas utama dari negara adalah melenyapkan berbagai bentuk monopoli dan kartel, karena praktek ini cenderung merusak kebebasan pasar dan karenanya ikut pula merusak kebebasan dan otonomi yang dimiliki oleh individu. Guna menciptkan rezim dan tatanan hukum yang seperti itu di tengah tatanan masyarakat corporatis yang telah terbentuk dan ada di Jerman pada awal abad ke-20 tersebut dibutuhkan suatu “intervensi negara liberal.”  Intervensi negara dibutuhkan untuk menghindari terjadinya akumulasi kekuatan ekonomi pada tangan tertentu. Negara harus mampu berdiri kuat diatas semua kepentingan politik yang ada, guna menghindari oportunisme politik yang dipicu oleh kepentingan sosial dan ekonomi, yang dilakukan oleh berbagai kepentingan partai politik, kartel, atau kelompok kepentingan yang mencari “extra rents’ dari berbagai bentuk subsidi yang diberikan oleh negara kepada berbagai bentuk status monopoli.

Menurut Ordoliberal (juga dikenal dengan sebutan neoliberalisme Jerman), negara harus menciptakan tatanan sistem hukum yang baik dan mendorong perkembangan sektor ekonomi serta menjaga persaingan yang sehat melalui mekanisme dan mengikuti prinsip-prinsip pasar.  Yang menjadi titik perhatian adalah, jika negara tidak mengambil langkah aktif dalam mendorong terciptanya sebuah persaingan, maka perusahaan  yang memiliki kekuatan monopoli (oligopoli) lah yang akan muncul memainkan peran utama, dimana tidak saja akan menghancurkan berbagai keunggulan dan keuntungan yang sesungguhnya ada didalam ekonomi pasar, tetapi pula memungkinkan melemahkan tata pemerintahan yang baik (good government), mengingat kemampuan ekonomi yang sangat kuat dapat ditransformasikan menjadi kekuatan politik.

Gagasan Ordoliberalismus banyak tertuang dalam jurnal akademik Ordo yang bernama: Jahrbuch für die Ordnung von Wirtschaft und Gesellschaft. Beberapa diantara kontributor rutin didalam jurnal ini adalah Franz Böhm, Walter Eucken, Ludwig Erhard, Friedrich Hayek, Alexander Rüstow, dan yang lainnya. Filsafat politik ordoliberalismus banyak dipengaruhi oleh Aristotle, De Tocqueville, Hegel, Spengler dan Karl Mannheim.*(M.Husni Thamrin)

Tunjangan Warga

“Siapa yang secara konsekuen menghendaki terciptanya masyarakat sipil yang  memiliki  lebih banyak tanggungjawab terhadap diri sendiri dan menerapkan konsep persaingan, maka dalam masyarakat sipil terbuka seperti ini harus ada jaminan yang lebih baik terhadap risiko dan solidaritas. Sebuah masyarakat sejahtera yang kesejahteraannya dicapai berkat penerapan tatanan ekonomi pasar dan kerajinan warganya dapat menciptakan keamanan tersebut melalui sistem tunjangan warga.”
                                                                                              Otto Graf Lambsdorrf (1994)



Kalau yang satu menganggap masalah tunjangan warga ini terlalu rumit, maka yang lain tercengang-cengang: “Ah, hanya sebegitu saja? Sebegitu mudah?” Apabila dalam perdebatan tentang “tunjangan warga” (Bürgergeld), “upah gabungan” (Kombilohn) dan “pajak negatif” (Negativsteuer) kita tinggalkan dulu istilah-istilah aneh tersebut, maka masalahnya pun menjadi mudah. Yang dimaksud dengan “tunjangan warga” adalah jumlah uang yang akan dibayar kantor pajak sebagai saldo dari  pajak penghasilan dan tuntutan atas bantuan sosial (“Transfer-Subjek”) yang didanai dari pajak kepada warga yang berpenghasilan kecil. Tunjangan ini bersifat bantuan universal dan fungsinya menggantikan bantuan-bantuan yang selama ini diatur oleh berbagai jawatan pemerintah, yakni bantuan sosial, bantuan untuk penganggur, tunjangan tempat tinggal, tunjangan keluarga, “Erziehungsgeld” (tunjangan yang diberikan kepada ibu atau atas dasar tertentu kepada orang tua laki-laki untuk masa  pendidikan/mengasuh anaknya) dan tunjangan pendidikan serta bantuan yang disebut bantuan obyek (Objekt-Hilfen) terutama seperti bantuan untuk “pembangunan tempat tinggal sosial”. Dengan sistem tunjangan warga redistribusi yang saat ini ‘tersembunyi’ dalam sistem-sistem sosial menjadi transparan.

Kantor pajak dapat menguji efisiensi pajak atau hak pemberian bantuan dengan lebih baik daripada jawatan-jawatan pemberi bantuan yang hampir tidak terkoordinasi itu. Perhitungan wajib pajak dan tuntutan atas bantuan secara sentral membuat bantuan sosial lebih terarah. Birokrasi pun berkurang jika negara tidak memungut uang dari warga yang satu untuk kemudian melalui instansi transfer (kantor yang memberikan bantuan) memberikannya lagi kepada yang lain sebagai bantuan. Kantor pajak menyelidiki semua penghasilan seperti yang selama ini terjadi. Ada perbedaan mendasar antara perhitungan yang dilakukan kantor pajak dan jawatan sosial. Kalau jawatan sosial membuat perhitungan atas dasar seluruh penghasilan kerja sebagai acuan pemberian bantuan sosial, perhitungan kantor pajak yang mengacu pada basis tunjangan warga (Basis-Bürgergeld) lebih kecil, misalnya 50%. Ini merupakan ransangan yang membuat pekerjaan dengan upah rendah lebih atraktif daripada bantuan sosial.  Apabila bantuan melebihi wajib pajak maka kantor pajak membayar tunjangan warga; di atas batas bantuan ini si warga membayar pajak penghasilan. Perhitungan 50% ini dipilih dengan latar belakang pekerjaan jelas lebih baik daripada sekedar menerima bantuan untuk penganggur atau bantuan sosial. Contoh konkritnya: apabila seorang single mother dengan putranya yang berusia 16 tahun (pelajar) tinggal di sebuah kota kecil maka ia akan memperoleh 1.800 DM. Jumlah ini merupakan jumlah keseluruhan bantuan bagi si ibu yang tidak bekerja. Tapi, kalau si ibu sebagai pramuniaga paruh waktu berpenghasilan 1.000 DM tanpa pajak (800 DM setelah dipotong untuk asuransi sosial) maka si ibu akan memperoleh total 2.350 DM. Ini berarti ia mendapat tambahan 550 DM kalau ia bekerja. Perhitungannya adalah sebagai berikut: jumlah penghasilan tanpa pajak, yaitu 1000 DM + gaji bersih yang dipotong 50% berarti 400 DM +  150 DM (kebutuhan tambahan untuk yang bekerja) maka jumlah tunjangan warga (Bürgergeld) yang diperoleh adalah 1.550 DM

Peluang bagi teciptanya lebih banyak lapangan kerja dan bagi kecocokan antara pekerjaan dengan segi pendidikan yang baik terletak pada kemungkinan pihak perusahaan untuk menawarkan lapangan kerja kepada orang-orang yang kurang atau berkualifikasi rendah dengan upah yang dapat perusahaan bayarkan. Penambahan pendapatan para pekerja dengan upah rendah melalui model tunjangan warga mempunyai nilai positif. Bagi si ibu pramuniaga misalnya, ketergantungannya pada bantuan sosial dapat ia tukar dengan partisipasi pada dunia kerja dan dengan kesempatan untuk menambah kualifikasinya sendiri. Selain itu hal tersebut baik untuk pendidikan si anak.  Dengan adanya ransangan untuk mempunyai kehidupan yang lebih bebas dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri berarti model tunjangan warga ini secara tidak langsung menyinggung kembali sebab-sebab tingginya tingkat pengangguran orang-orang yang kurang berkualifikasi. Suatu masalah yang sudah disinggung oleh bapak gagasan tunjangan warga modern, Milton Friedman. Dari gagasannya inilah kemudian di AS sejak 1975 diterapkan konsep “yang ketat” sebagai “Earned Income Tax Credit” yang sangat sukses (jumlah total potongan pajak bagi pekerja dengan upah rendah).

Sikap skeptis terhadap konsep tunjangan warga ini muncul karena adanya kesalahpahaman tentang fungsi aturan politik dan teknik sistem tunjangan itu sendiri. Dan sebagian juga karena adanya kekhawatiran yang perlu ditanggapi serius bahwa pemberian subsidi untuk menciptakan lapangan kerja dengan upah rendah berarti “jaring pengaman sosial” telah dibentangkan. Padahal penelitian empiris terbaru menegaskan bahwa hal yang ditekankan dalam gagasan penciptaan lapangan kerja dengan upah rendah tersebut bukanlah adanya subsidi atau tidak. Melainkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana memberikan bantuan yang paling efektif dengan pekerjaan reguler.  Konsep tunjangan warga merupakan suatu konsep bantuan yang terarah (bantuan subjek) dan lebih baik daripada semua bantuan obyek dan konsep pengadaan lapangan kerja untuk dijadikan jembatan menuju pasar kerja pertama. Selain itu, dengan konsep tunjangan warga pengujian kesediaan untuk membalas jasa dapat lebih dipercaya. Karena apakah seorang pekerja yang sehat dalam rangka balas jasanya bersedia “menerima pekerjaan yang layak” atau “memenuhi syarat”, itu merupakan syarat bagi pihak perusahaan untuk menciptakan lapangan kerja yang dapat mereka bayar. Tidak ada pekerjaan gratis. Ini terlilustrasi pada contoh kasus si ibu pramuniaga.

Para penemu sistem tunjangan warga menyebut pajak penghasilan mereka yang telah dipermudah secara radikal itu “Bürgersteuer” (pajak rakyat), dikombinasikan dengan integrasi pengenaan pajak penghasilan dan transfer sosial (Sozialtransfer). Nama “Bürgergeld“ (tunjangan warga) yang sejak awal menjadi bahan perdebatan sebenarnya hanya mengacu pada bagian transfer dalam pajak penghasilan yang diintegrasikan itu dengan tarif pajak secara umum. Tapi istilah tarif pajak berkonotasi negatif.  Karena itulah kemudian diangkat lagi istilah-istilah yang pernah muncul sebelumnya untuk istilah “Bürgergeld”, yaitu “Negativsteuer” (pajak negatif), “negative Einkommensteuer” (pajak penghasilan negatif)  atau sejak tahun 60-an “negative income tax”.  Namun selanjutnya istilah “Bürgergeld”- lah yang digunakan. Alasannya: dengan adanya ‘kelanggengan’ pengangguran di sektor pekerjaan dengan upah rendah kepentingan difokuskan pada bidang pajak. Artinya, bidang pajak mengatasi pengangguran itu dengan cara mengatur sistem tunjangan warga di mana pekerja dengan upah rendah memperoleh tambahan sebagai pendapatan keseluruhan melalui tunjangan warga. Ini berarti setiap konsep tunjangan warga sama dengan upah gabungan (“Kombilohn”). Karena itu konsep ini kadang-kadang tertukar dengan konsep-konsep “Kombilohn” yang sama sekali berbeda.

Konsep-konsep yang dimaksud terakhir cenderung merupakan kebalikan dari konsep yang dimaksud oleh para penemu “Bürgersteuer” (pajak warga) dan “Bürgergeld” (tunjangan warga) sebagai aturan pajak dan transfer dari satu sumber. Dengan terjadinya peralihan menuju pembaharuan ekonomi pasar di tahun 80-an Wolfram Engels, Armin Gutowski, Walter Hamm, Wernhard Möschel, Wolfgang Stützel, Carl Christian von Weizsäcker, Hans Willgerodt (“Kelompok Kronberg”) dan Joachim Mitschke  menghendaki perlunya pemisahan antara bagian pasar dengan transfer (bantuan) sosial, diciptakannya lapangan kerja dan reformasi sistem sosial  secara mendasar. Mereka berpendapat, apabila negara ikut campur dalam pasar biasanya hal itu dilakukan dengan niat politik tertentu. Akibatnya adalah berkurangnya efisiensi pasar. Dengan penerapan pajak warga terdapat satu instrumen yang merangkum semua niat pelaksanaan perimbangan sosial.  Dengan demikian baru mungkin untuk mengembalikan pasar kepada fungsinya secara menyeluruh.


Literatur tentang topik tunjangan warga (Bürgergeld)

  • Kelompok Kronberg, Bürgersteuer (Pajak Warga), Institut Frankfurt 1986: Penggambaran terbaik tentang gagasan dasar sistem tunjangan warga dengan mengacu pada reformasi pajak sesungguhnya.

  • Joachim Mitschke, Steuer- und Transferordnung aus einem Guss (Aturan Pajak dan Transfer dari Satu Sumber), Baden-Baden 1985: Karya standar bagi semua yang ingin mengetahui secara tepat tentang topik ini.

Idem., Politische Optionen der Bürgergeld-Konzeption (Opsi-Opsi Politik Konsepsi Tunjangan Warga), Institut Liberal Yayasan Friedrich-Naumann 2001: Ringkasan tentang jalan menuju konsep tunjangan warga.

KEADILAN SOSIAL

“Selama lebih dari sepuluh tahun saya secara intensif mencoba menemukan makna istilah “keadilan sosial”. Usaha itu gagal; atau lebih tepatnya, pada akhirnya saya sampai kepada kesimpulan bahwa bagi masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia yang bebas kata itu sama sekali tak bermakna”.


Pernyataan di atas dibuat oleh pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi, Friedrich Hayek yang beraliran liberal, pada 1976. Manakala kita mencermati penggunaan istilah “keadilan sosial” dalam lingkungan politik saat ini, maka kebenaran dari pernyataan Hayek tersebut hampir tak terbantahkan.
Karena, apa yang hendak dicapai dengan tambahan kata “sosial” tersebut? Tanpa kata itupun “keadilan” dapat didefinisikan dengan jelas. Keadilan merupakan suatu prinsip universal yang dapat dijadikan takaran bagi semua tindakan politik dan yang legitimitas moralnya dapat diuji. Ini mensyaratkan antara lain aturan yang sama bagi semua orang.
Justru aturan yang sama bagi semua orang inilah yang tidak dikehendaki oleh pembela “keadilan sosial” terjadi dalam politik. Ia tidak menghendaki setiap orang diperlakukan sesuai dengan penerapan aturan yang sama. Ia ingin meredistribusi materi dalam suatu bentuk tertentu. Ini hanya dapat ia lakukan jika ia diperlakukan secara tidak sama. Berbeda dari orang-orang yang atas dasar kemanusiaan membantu mengurangi kemiskinan dan penderitaan, penganut “keadilan sosial” hendak menimbulkan kesan bahwa ada ukuran moral yang menyeluruh terhadap niat redistribusinya itu. Setiap orang harus mendapatkan apa yang memang sudah menjadi bagiannya. Padahal,  benar seperti yang Hayek kemukakan, tidak ada ukuran  yang seperti tersebut di atas.

“Tak ada seorang pun sampai hari ini yang telah berhasil menemukan satu-satunya aturan  umum untuk setiap kasus di mana aturan itu mungkin diterapkan.  Suatu aturan yang kiranya dapat dijadikan acuan untuk menyimpulkan apa sebenarnya ‘keadilan sosial’ itu.”
                                                                                   Friedrich August von Hayek, 1976

Apa tepatnya yang berhak diperoleh setiap orang? Tidak sedikit orang percaya bahwa setiap orang entah bagaimana caranya harus mendapatkan jatah dari seluruh benda materi yang memang diperuntukkan buat dirinya pribadi atau sebagai anggota kolektif. Namun, pertanyaan yang timbul sekarang adalah haruskah orang yang malas mendapatkan bagian yang sama seperti orang yang rajin? Atau tidak sama? Kalau tidak sama, bagaimana mengatur besar atau kecilnya hak mereka? Sampai hari ini pengetahuan manusia belum mampu menjawab pertanyaan ini dengan tepat.  Yang ada hanyalah harapan atas keadilan tuhan di alam baka atau - di dunia ini -  harapan atas hak-hak yang dipilih secara sembarangan. Tuntutan yang biasanya sangat bernuansa kekuasaan politik.
Justru karena “keadilan sosial” seperti ini bukan merupakan cita-cita yang dapat didefinisikan maka terbukalah ruang gerak yang hampir tak terbatas bagi terjadinya proses pengalihan suatu kelompok masyarakat kepada kelompok yang lain. Setiap orang dapat menerima, setiap orang dapat memberi (atau dengan formulasi yang lebih realistis: setiap orang dapat dipaksa untuk memberi). Sebenarnya tidak ada yang puas, karena tidak ada keadaan akhir yang dapat didefinisikan di mana “keadilan sosial” itu kiranya dapat terejawantahkan. Apabila suatu kelompok memperoleh hak istimewa maka kelompok yang lain juga harus mendapatkannya. Ini bisa berjalan dengan adanya  peminggiran kelompok tertentu (misalnya para penganggur yang menjadi korban sindikat perusahaan penentu tarif [Tarifkartell] yang dikehendaki pemerintah), dengan kehidupan yang mengorbankan generasi masa depan atau melalui hutang publik yang berlebihan.  
Semua gambaran tentang pembagian yang berdasarkan keadilan sosial mengakibatkan semakin meningkatnya praktek perwalian dalam suatu masyarakat.
Keadilan sebagai norma universal bagi apa yang layak menjadi hak setiap orang hanya punya makna jika tidak ada tuntutan yang bersifat sewenang-wenang terhadap orang lain. Tapi justru melindungi hak formal atas apa yang telah diperoleh seseorang  sebagai “miliknya sendiri”. Apa yang menjadi hak manusia adalah segala sesuatu yang telah ia peroleh tanpa melanggar hak orang lain.  Setiap manusia punya hak yang tidak bisa dibeli, yaitu hak atas perlindungan terhadap diri dan harta bendanya. Inilah gagasan liberal tentang keadilan. Tuntutannya bersifat sederhana dan manusiawi karena tidak menuntut di atas kemampuan pengetahuan manusia. Politik yang dapat melindungi kekebasan setiap orang dari paksaan dan kekerasan hanyalah dapat terwujud jika politik itu dilandasi gagasan keadilan seperti dimaksud di atas.
Lalu, bukankah keadilan yang seperti ini merupakan ekspresi dari kekejaman yang paling menakutkan seperti yang diduga oleh banyak penentang liberalisme?
Sama sekali tidak benar! Justru dengan asas perlindungan terhadap hak-hak milik pribadi tersebut liberalisme sekaligus juga telah menutup kemungkinan terjadinya eksploitasi dengan kekerasan yang seringkali dipraktekkan kekuasaan politik. Hampir semua bencana besar kemiskinan dan kelaparan dalam sejarah dunia disebabkan oleh penggunaan kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang – jadi bukan karena terlalu banyak kebebasan dalam arti liberal. Kemenangan atas kemiskinan merupakan salah satu kemenangan besar liberalisme. Sejauh ini para penganut liberal (kecuali Hayek) boleh saja mengklaim bahwa keadilan mereka adalah “keadilan ssosial”. “Sosial” oleh para penganut paham liberal dikembalikan lagi kepada makna asalnya seperti yang dapat ditemukan dalam tulisan Edmund Burke. Kebajikan-kebajikan materi negara liberal harus tetap dilandasi pada prinsip mempertahankan kebebasan dan persamaan hak umum.

“Kebebasan yang saya maksud adalah kebebasan sosial. Yaitu suatu keadaan di mana kekebasan itu terjamin oleh adanya persamaan batasan; suatu keadaan di mana tak ada manusia atau sekelompok manusia yang menggunakan kebebasannya sebagai alat untuk melanggar kebebasan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat. Kebebasan seperti pada hakikatnya adalah nama lain dari keadilan”                                                                              
Lagi pula, istilah “sosial” diambil dari bahasa Latin “societas” yang berarti masyarakat.  Tentu saja seluruh masyarakat harus dilayani, jadi bukan kepentingan-kepentingan terorganisir yang menyalahgunakan kekuasaan politik untuk tujuan pribadi. Seperti inilah pemahaman para bapak ekonomi pasar sosial (soziale Marktwirtschaft) tentang istilah sosial tersebut ketika mereka menyatakan bahwa sebuah negara liberal bukan  menjadi kuat karena melayani egoisme-egoisme kelompok, melainkan karena menentang egoisme-egoisme tersebut.
Kalau demikian, “keadilan sosial” kiranya telah menjadi kebalikan dari apa yang dipahami politik dewasa ini tentang istilah tersebut. “Keadilan sosial” pada dasarnya tidak lain daripada keadilan.
     

Literatur yang layak dibaca untuk topik “Keadilan Sosial” 
Detmar Doering: Soziale Gerechtigkeit: Die gefährliche Illusion? (Keadilan Sosial: Ilusi yang berbahaya?), dalam:  Reflexion, nr. 29, April 1993, h. 27ff
Ringkasan singkat  dan mudah dibaca yang membongkar sifat arkeistik dari pandangan-pandangan populer tentang “keadilan sosial”.
Friedrich August von Hayek: Recht, Gesetzgebung und Freiheit (Hukum, Pembuatan Undang-Undang dan Kebebasan), edisi kedua, Muenchen (Penerbit Moderne Industrie) 1986
Volume kedua dari trilogi  (aslinya dalam bahasa Inggris: Law, Legislation and Liberty, 1973ff) yang meneliti secara filosofis-hukum asas-asas suatu masyarakat bebas dari aspek liberal ini diberi judul yang tepat: “Ilusi Keadilan Sosial”.
 Wolfgang Kerstin: Theorien der sozialen Gerechtigkeit (Teori-Teori Keadilan Sosial). Stuttgart/Weimar (Penerbit J.B. Metzler) 2000
Pembahasan yang detil dan kritis dari sudut pandang filosofis dengan teori-teori terpenting tentang “keadilan sosial” (misalnya: Rawls).

TOKOH Ludwig Erhard

Ludwig Erhard adalah kanselir Jerman pada tahun 1963 – 1966 yang acapkali dihubungkan dengan upaya pemulihan perekonomian Jerman Barat setelah perang dunia.
 Ia dilahirkan pada 4 Februari1897, di Fürth, sebuah kota di bagian Selatan Bavaria, Jerman. Ia meninggal pada 5 Mei 1977, di Bonn, Jerman.
 Erhard sempat terjun berperang dalam perang dunia I, pulang dengan membawa luka yang cukup parah, yang  membuatnya memutuskan untuk meneruskan kuliahnya di bidang ekonomi dan sosiologi, yang ditekuninya hingga meraih doctor pada tahun 1925. Dari tahun 1928 hingga tahun 1942 ia bekerja pada sebuah lembaga yang melakukan survey pasar di Nuremberg, dimana ia kemudian membangun sebuah institusi yang danai oleh industri swasta.
 Secara intelektual ia memikirkan tentang berbagai konsekuensi yang harus dihadapi oleh Jerman setelah kekalahan perang dunia II. Sejak tahun 1945 ia banyak dipengaruhi oleh Amerika, bekerja sebagai Menteri Ekonomi di Bavaria, dan kemudian di Frankfurt, terutama dalam melakukan reformasi mata uang.
 Sebelum menjabat sebagai kanselir menggantikan Konrad Adenauer, Erhard adalah seorang ekonom dan politisi yang sempat menjadi Menteri Perekonomian pada tahun 1949 – 1963, dibawah pemerintahan Konrad Adenauer. Ia diangap sebagai arsitek pemulihan ekonomi Jerman Barat paska perang dunia II. Ia berhasil menciptakan apa yang sering dikenal sebagai keajaiban ekonomi melalui konsep yang dibangunnya, yang dikenal dengan nama "social market system," yang berdasarkan pada pasar bebas dan kapitalisme namun dengan pula memasukkan berbagai program khusus bagi perumahan, pertanian, dan program-program sosial.
 Padangan ekonomi Erhard tertuang dalam konsep yang digagasnya yang dikenal dengan nama "social market economy," yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai ekonomi bebas yang berdimensi social. Erhard mengharapkan inisiatif individu sebagai penggerak perekonomian Jerman yang hancur akibat perang dunia II, namun ia perlu pula menghadapi persoalan monopoli, kartel, dan tuntutan serikat buruh yang berlebihan, guna memuluskan rencananya tersebut.
 Erhard memahami bahwa ketidakefisiensian muncul dari adanya kontrol terhadap harga. Oleh karenanya saat ia diangkat oleh Sekutu sebagai penasihat ekonomi untuk Jendral Lucius D. Clay, gubernur militer pada wilayah Amerika Serikat pada tahun 1947, ia segera mengusulkan reformasi yang segera terhadap mata uang dan penghapusan kontrol terhadap harga.
 Jumlah mata uang beredar secara dramatis berkurang dan antara bulan Juni hingga Agustus 1948 ia menghapus kontrol harga bagi sayur-sayuran, buah-buahan, telur, dan hampir semua barang manufaktur. Pada saat yang bersamaan Erhard mengusulkan pengurangan pajak pendapatan dari aturan semula yang menetapkan pajak pendapatan sekitar 95 persen bagi pendapatan lebih dari 6,000 Deutschemarks. Sesudah aturan baru tersebut diterapkan, pajak sebesar 95 persen ini hanya berlaku bagi pendapatan diatas 250,000 Deutschemarks per tahun
 Efek dari reformasi mata uang yang ditetapkan oleh Erhard terasa dengan cepat. Pada 21 Juni 1948, satu hari setelah kebijakan ini diumumkan, took-toko dipenuhi oleh barang, karena masyarakat masyarakat menyadari bahwa uang yang mereka gunakan lebih memiliki harga daripada uang yang lama. Reformasi ini membuat mata uang yang digunakan menjadi medium yang berfungsi dengan baik untuk pertukaran dan insentif keuangan dan menggerakkan perekonomian.
 Pada tahun 1957 ia diangkat sebagai wakil kanselir, yang kemudian pada tahun 1963 ia menggantikan Konrad Adenauer sebagai kanselir. Masa pemerintahannya disibukkan dengan penurunan angka pertumbuhan ekonomi dan defisit anggaran belanja negara. Namun keberhasilannya memulihkan perekonomian, jauh dari perkiraan banyak orang sebelumnya, membuat ia dan Adenauer menjadi popular.
 Ia menggantikan Adenauer pada tahun 1963, namun berbagai persoalan luar negeri yang tak mampu ditanganinya dengan baik, selain kelemahannya sebagai seorang pemimpin pemerintahan, memaksanya untuk mundur pada tahun 1966.
 
Ludwig Erhard Quotes:
"A compromise is the art of dividing a cake in such a way that everyone believes that he has got the biggest piece."

Apa Artinya Menjadi Mandiri?

Mandiri selain menjadi nama bank terkemuka, juga menjadi slogan calon-calon presiden. Tetapi seakan-akan bagi saya mandiri hanya menjadi sebuah kata tanpa arti, karena tidak ada satu calon pun yang mampu mendefinisikan apa arti mandiri itu. Maksud saya, tidak ada yang mampu secara benar mendefinisikan apa arti mandiri itu. Apa sih mandiri? Apakah mandiri hanya sekedar berarti mandi sendiri?

Sebuah bangsa yang mandiri katanya, adalah bangsa yang mampu menghasilkan barangnya sendiri, tidak didikte bangsa lain, dan lain sebagainnya. Bukan untuk kritis, tetapi saya anggap ini adalah cara pandang kemandirian yang terlalu sempit, terlalu naïve. Saya beri contoh, seorang yang ingin mandiri dalam cara pandang sempit ini. Dia ingin menjadi mandiri sehingga ketika membagun rumah, dia sendiri yang membangunnya, dia menganggap bahwa meminta bantuan orang lain adalah jalan menuju ketidak mandirian. Ketika dia butuh makanan, dia merasa bahwa untuk menjadi pribadi yang mandiri dia harus bisa mencari dan memproduksi makanannya sendiri. Dia tidak mau berhutang karena berarti dia akan didikte orang lain, itu adalah ciri ketidak mandirian. Dia tidak mau membeli pakaian dan cepatu dari orang lain, itu tidak mandiri. Inilah contoh ketika kemandirian itu dilihat secara naïf, secara sempit. Bukannya menuju kesejahteraan malah menuntun kepada kehancuran diri sendiri. Ini adalah kemandirian sempit dan salah yang menciptakan kemelaratan.

Mungkin anda menganggap contoh saya terlalu sempit pula, contoh yang terlalu naif pula, tidak realistis. Ok., Saya akan tunjukan satu contoh nyata yang lebih luas. Sebuah bangsa yang katanya ingin menjadi mandiri, sehingga merasa diri mampu menciptakan segala hal dengan dirinya sendiri untuk rakyatnya. Dengan bangga mengaku bahwa mereka bisa membangun bandara sendiri. Katanya mereka membangun bandara tersebut tanpa campur tangan asing. Ini adalah suatu pernyataan paling naïf yang pernah saya dengar. Sebagaimana tulisan Leonard E. Read (
http://mahacorp.blog.friendster.com/2009/06/aku-pensil-silsilah-keluarga-sebuah-pensil-sebagaimana-dikisahkan-oleh-leonard-e-read/) yang menantang semua orang bahwa tidak ada satu orang pun bisa menciptakan pensil.

Sekarang saya ingin menantang siapa pun, siapapun dia, bahwa tidak ada satu bangsa pun yang bisa menciptakan sendiri suatu bandara berkualitas, bahkan sebuah bangsa paling maju didunia sekalipun,apapun bangsa itu. Kalau anda memaksa bahwa Indonesia bisa membangun bandara tanpa campur tangan asing, saya ingin bertanya, dari mana datangnya bahan membuat Bandara tersebut? Semennya datang dari Indonesia, tetapi mesin pembuatnya apakah 100% datang dari Indonesia? Kursi plastic di bandara tersebut? Apakah bukan didatangkan dari China? Konstruksi baja datang dari Indonesia, begitu juga dengan biji besinya, tetapi apakah dana pembangunan pabrik baja tersebut 100% datang dari Indonesia?

Sebagaimana Pensil adalah sebuah produk kerjasama jutaan manusia, maka sebuah bandara adalah sebuah hasil buah karya puluhan bangsa didunia yang bekerja sama, bukan untuk kesejahteraan bangsa pemilik bandara, tetapi demi kesejahteraan bangsa masing-masing bangsa tetapi dengan demikian menciptakan pula kesejahteraan bagi bangsa lain. Pengakuan bahwa sebuah bangsa dengan mandiri bisa menciptakan sebuah bandara tanpa campur tangan asing adalah sebuah contoh kemandirian yang kebablasan, sempit dan tanpa dasar.

Ijinkan saya memberikan konsepsi saya tentang bangsa yang mandiri dan saya harap anda bisa sepikiran dengan saya. Sekarang sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita lihat lebih dekat apa sebuah bangsa itu. Bangsa adalah sekumpulan manusia yang saling berbagi kesamaan. Jadi bangsa adalah sekumpulan manusia. Manusia adalah bangsa, tanpa manusia-manusia ini, bangsa tidak akan pernah terbentuk. Sehingga bangsa yang mandiri adalah ketika manusia-manusia secara pribadi mampu mandiri. Tidak ada sebuah bangsa yang bisa kolektif mandiri jika manusia-manusianya terjajah untuk kemandirian kolektif tersebut. Kemandirian suatu bangsa terwujud, jika manusia-manusia yang menjadi anggota bangsa tersebut adalah orang-orang yang mandiri. Lalu apa itu seorang manusia yang mandiri? Tentu saja bukan seperti kemandirian sempit yang saya contohkan diatas.

Seorang manusia yang mandiri adalah seorang yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain. Seorang manusia yang mandiri adalah seorang yang mampu membeli apapun yang dia mau dan butuhkan tanpa harus meminta bantuan dan mengemis kepada siapapun, termasuk kepada pemerintah. Seorang manusia mandiri adalah seorang manusia yang berani BERHUTANG karena dia tahu bahwa dia punya kemampuan untuk membayarnya kembali secara jujur. Seorang manusia yang mandiri adalah seorang yang mampu memenuhi kesejahteraan dasarnya tanpa harus berharap banyak terhadap subsidi pemerintah sampai harus merengek terhadap subsidi tersebut. Seorang manusia yang mandiri adalah seorang yang sanggup membuka usaha tanpa harus takut bersaing secara adil dengan orang lain bahkan pesaing dari bangsa lain, tanpa takut bersaing dalam persaingan bebas yang adil sehingga tidak perlu meminta pemerintah untuk melindungi usahanya. Seorang manusia yang mandiri adalah seorang yang bisa mempertahankan kebebasannya tanpa harus mengganggu kebebasan orang lain, yang bisa menjalankan agamnya tanpa bisa diganggu orang lain. Seorang manusia yang mandiri adalah manusia yang sanggup memenuhi biaya pendidikannya tanpa harus berharap banyak terhadap subsidi pendidikan, sehingga dia mampu membuktikan kepintarannya dan mendapatkan bantuan berupa beasiswa atau bantuan lain atas dasar karena kemampuannya. Ketika para manusia-manusia yang punya mental kemandirian diatas bersatu, maka terwujudlah suatu bangsa yang mandiri.

Sehingga jelas, seorang calon pemimpin yang menjanjikan bahwa dia akan melindungi pengusaha domestic, adalah seorang calon yang membunuh kemandirian pengusaha kita untuk bersaing. Seorang pemimpin yang menjanjikan bahwa dia akan membantu petani dan nelayan, adalah petani yang membunuh kemandirian petani dan nelayan tersebut untuk berusaha lebih keras. Seorang pemimpin yang menjanjikan kesejahteraan lewat subsidi gratis di berbagai bidang, adalah pemimpin yang membunuh kemandirian bangsa. Seorang pemimpin yang menjanjikan banyak kemudahan tanpa banyak kerja keras, adalah pemimpin yang menghancurkan mental mandiri manusia-manusia dan menghasilkan bangsa memble, bangsa yang tidak bisa mandiri.

Ingat, seorang pemilih yang mandiri adalah seorang pemilih program nyata yang mengarah kepada pembangunan, bukan yang memilih karena janji angin surga, bukan memilih karena dijanjikan usahanya dilindungi oleh calon tersebut, atau yang paling hina, bukan memilih karena diberikan sejumlah uang. Siapapun yang anda pilih, calon presiden ataupun calon legislative, atau calon kepala daerah, akan menentukan apakah anda seorang manusia mandiri yang siap membentuk bangsa yang mandiri.*(Juan Mahaganti)

MITOS LIBERALISME

Mitos : Liberalisme adalah paham yang tidak bermoral. Banyak orang menuduh liberalisme/kapitalisme menuntun kepada imoralitas, pada keserakahan, ketidak adilan, kejahatan, kemaksiatan, dan banyak hal jahat lainnya. Bahkan seorang murid saya pernah memakai sebuah kaos dengan tulisan “capitalism stole my virginity”.

Fakta : Moral adalah kemampuan kita dalam hal membedakan mana yang benar, mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang jahat. Perlu diketahui bahwa moral jauh lebih besar dan murni dari adat. Beberapa adat istiadat bisa saja tidak bermoral, tetapi semua yang benar berasal murni dari dalam akal sehat dan nurani kita, yang tidak bisa kita bohongi. Itu adalah anugerah pencipta bagi kita semua. Manusia adalah satu-satunya makhluk dengan nilai moral. Anjing tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.

Secara moral, liberalisme lebih unggul dari faham sekuler apapun. Banyak pakar ekonomisalah dengan membela kapitalisme karena kapitalisme menciptakan kesejahteraan, tetapi kadang-kadang mengakui bahwa kapitalisme menciptakan kejahatan, sehingga dianggap, kapitalisme adalah “necessary evil” (kejahatan yang diperlukan) untuk menciptakan kesejahteraan. Pandangan yang salah ini tentu saja memperburuk citra liberalisme. Liberalisme menurut Walter Williams, sebenarnya bukan seharusnya dibela dari segi argument ekonomi, tetapi lebih dari sisi moralitas, karena liberalism adalah faham dengan yang paling superior dari sisi moralitas. Sehingga, walaupun liberalisme gagal dalam mengelola ekonomi, tetapi secara moral, liberalism tidak terbantahkan. Sehingga, liberalisme harus dipertahankan dengan argument yang jauh melebihi sekedar argument bahwa liberalisme baik untuk ekonomi, tetapi juga baik untuk kemanusiaan secara universal.

Liberalisme didasarkan kepada hak individu atas anugerah pencipta yang tidak bisa diambil oleh siapapun. Liberalisme menciptakan kebahagiaan bagi siapapun, selama kebahagiaan tersebut tidak mengganggu kebahagiaan orang lain. Bukti memperlihatkan bahwa bangsa modern yang beradab adalah bangsa yang menghargai hak orang lain. Negara-negara besar seperti AS dan Inggris, tidak tercipta dari pemaksaan kehendak terhadap warganya, tetapi melalui consensus yang tercipta secara damai dan demokratis, tanpa adanya pemaksaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Tetapi harus diingat bahwa kesejahteraan ekonomi “hanyalah produk sampingan dari liberalisme” (Williams, 2004). Produk utamanya adalah kemerdekaan, apakah ada hal yang lebih bermoral dari ini?

Kembali ke pernyataan di atas : “capitalism stole my virginity”. Apakah memang kebebasan yang mengakibatkan keperawanannya terenggut? Atau jika pernyataanya: apakah kebebasan yang mengakibatkan imoralitas? Tentu saja tidak! Kebebasan membutuhkan tanggungjawab pribadi. Bukan kebebasan yang menciptakan imoralitas tersebut, tetapi diri anda sendiri. Ada pilihan lain untuk mencegahnya, yaitu dengan menghilangkan kebebasan (dengan pemaksaan, koersi, kekerasan dll), sehingga tidak terwujudnya imoralitas. Tetapi bukankah dengan demikian kita menciptakan lebih banyak imoralitas?

Mitos : Liberalisme adalah paham yang tidak berkeadilan, paham yang menciptakan ketidak adilan. Tuduhan yang sering di alamatkan katanya liberalisme kapitalisme menciptakan perbedaan kelas, ketimpangan ekonomi, yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin sehingga tercipta kesenjangan pendapatan.

Fakta : Diantara banyaknya tuduhan, ini yang paling sering didengungkan. Sebagaimana menjawab mitos diatas, dengan mewujudkan pengertian bersama tentang apa itu keadilan, kita bisa melangkah dengan pengertian yang lebih baik. Bagaimana sebenarnya keadilan itu? Ketika saya masih kecil dulu, duduk berdampingan dengan kakak saya yang terpaut 6 tahun, duduk menanti sarapan yang akan diberikan, ibu saya memberikan porsi yang lebih banyak kepada kakak saya karena tahu kemampuan makan kakak saya dan saya berbeda. Apakah ini bisa disebut keadilan? Tentu saja karena masing-masing menurut kemampuannya. Ketika saya sekarang mengajar di sebuah kelas. Bagi murid yang malas, saya berikan nilai lebih rendah sedangkan yang rajin saya berikan nilai yang lebih tinggi. Apakah ini keadilan? Sekali lagi, ya, karena saya memberi sesuai dengan yang mereka usahakan.

Dalam pikiran banyak orang yang anti liberalisme, mereka punya kesamaan visi atas ketidak adilan yang tercipta dalam system kebebasan. Tetapi sayangnya, hayalan ketidak adilan ini mereka dasarkan hanya atas hasil akhir dan bukan prosesnya (William, 2004). Prof. Hayek, berusaha menjawab kritik ini dengan meyakinkan bahwa jangan hanya melihat ketidak adilan dari hasil akhir, tetapi yang paling utama, keadilan dalam proses. Contohnya, dalam sebuah kelas, terdapat ketimpangan hasil akhir. Ada yang dapat F dan ada yang dapat A.Tetapi ini adalah keadilan, seandainya memang prosesnya adil. Ketika murid berusaha sesuai kemampuannya dan mendapat nilai sesuai dengan kemampuannya, itulah keadilan. Akan sangat tidak adil seandainya semuanya mendapat A. Bukan saja tidak adil, tetapi juga akan menghasilkan proses belajar yang tidak kompetitif dan produktif, karena tidak ada murid yang mau berusaha sejak mereka tahu bahwa sekeras apapun mereka berusaha, mereka tetap akan dapat A. Bahkan menurut Prof. Friedman dalam “Free to Choose”, bukan saja tidak adil dan kontra produktih, malah tidak menyenangkan. Tidak ada orang yang akan menikmati hidup seandainya “keadilan hanya berdasar hasil akhir” ini diterapkan. Kita sendiri sudah lahir “tidak adil”.

Ada yang dilahirkan sudah kaya, tampan dan cantik, ada yang pintar nyanyi, ada yang pintar memimpin, berbakat jadi dokter, jadi pilot, ada yang dilahirkan cacat, ada yang buta, ada tidak terlalu pintar, ada yang brilliant. Memang “tidak adil”, tetapi kalau anda lihat justru itulah keadilan yang Maha Kuasa. Kalau semuanya dilahirkan pintar bermain music, siapa yang akan menjadi penikmat music. Kalau semua dilahirkan berbakat memimpin, siapa yang akan menjadi pengikut? Yang membuat saya heran, kenapa para kaum egaliter (ingin masyarakat sederajat), begitu getol agar kita menjadi sejajar semua secara ekonomi, sedangkan kita sendiri lahir secara “tidak merata”. Milton Friedman mengejek anggapan ini dengan begitu brilliant. Menurutnya, kalau memang anda ingin dunia adil, maka sederhana, semua yang terlahir pintar bermusik, jangan dilatih bermusik. Sedangkan yang tidak bisa bermusik harus diajari bermain music, sehingga kemampuan semua manusia sejajar. Tetapi bukankah ini hal yang sangat bodoh? Bukan hanya merugikan sang empunya bakat, tetapi merugikan seluruh masyarakat yang tidak bisa menikmati keindahan music yang dihasilkan empunya bakat.

Dalam liberalisme, anda mendapatkan sesuai dengan apa yang anda usahakan. Kerja keras anda menentukan hasil akhir yang anda dapat. Walter Williams mengilustrasikan dengan luar biasa gamblangnya system penghargaan (reward) ini. Menurutnya, dalam masyarakat kapitalis, setiap kerja anda dihargai dengan sertifikat, dan sertifikat itu kalau di Amerika kita sebut Dollar, di tempat lain disebut Euro, Mark, Pound sterling, dan kalau di Indonesia kita sebut itu Rupiah. Sertifikat ini kita berikan atas ucapan terima kasih atas layanan yang diberikan atas kita terhadap sopir taxi, guru, penata rambut, penjual beras, dan banyak orang lain. Lebih keras anda bekerja, lebih banyak sertifikat yang anda terima. Ketika anda tidak bekerja, jangan harap anda menerima sertifikat penghargaan ini. Sehingga jangan heran dalam system kapitalisme/liberalisme, tercipta ketidak sejajaran, karena ada yang bekerja malas, ada yang rajin, sehingga mereka menerima sesuai dengan apa yang layak mereka dapatkan. Tetapi ketidak sejajaran hasil akhir ini adalah hasil sebuah proses yang sangat-sangat adil. Bukankah ini system yang sangat, sangat berkeadilan. Bisakah anda temukan system yang lebih adil dari ini?

Mitos : Ekonomi Liberalisme didasarkan atas pementingan diri sendiri dan keserakahan

Fakta : Coba perhatikanpara atlit yang sedang bertanding, contohlah para pelari cepat. Apa yang anda lihat? Tentu saja bukan sekedar lintasan lari dan para atlit. Tetapi juga determinasi yang terpancar dari aura dan usaha mereka yang membuat mereka ingin berlari lebih cepat dari yang lain. Tentu saja tidak ada yang menyuruh mereka untuk lari lebih cepat. Tidak ada perintah dari atasan, tidak ada kelinci yang harus dikejar (seperti lintasan lari anjing greyhound) dan tidak ada yang menodong mereka dari belakang untuk lari lebih cepat. Lalu apa yang membuat mereka lari lebih cepat? Paling tidak ada dua alasan utama yang membuat mereka lari. Pertama, hadiah besar yang menanti didepan. Hmmmm, hadiah besar yang menggiurkan. Alasan kedua, adalah, keinginan alamiah manusia untuk menjadi yang terbaik. Tidak semua orang bisa menjadi terbaik, karena jika semua menjadi terbaik, maka terbaik menjadi biasa saja. “Terbaik” adalah hal yang eksklusif. Tidak semua bisa menjadi terbaik, hanya orang khusus bisa menjadi terbaik. Dan untuk menjadi terbaik seseorang harus mendahulukan dirinya. Bukankah kedua hal ini yang meEconomic and Virtue

Mitos : Liberalisme menimbulkan kemelaratan

Fakta : Diantara semua tuduhan, ini adalah tuduhan yang paling tidak berdasar. Tidak ada satu bukti pun yang bisa mendukung mitos ini. Tetapi buktu untuk kebalikannya, bahwa Ekonomi liberal menciptakan kesejahteraan, bisa anda temukan dimana-mana. Anda tidak perlu sebuah penelitian ilmiah secara comprehensive. Cukup nyalakan TV anda dan lihat secara jelas. Tetapi jika anda membutuhkan fakta ilmiah, penelitian James Gwartney, Robert A. Lawson dan Walter E. Block (1998) membuktikan hal ini ini.
Gwartney Et Al. merancang index untuk mengukur tingkat kebebasan ekonomi dari 100 negara. Dengan membandingkan hasil index tersebut dengan GDP Negara bersangkutan, dan menemukan bahwa Negara-negara dengan tingkat kebebasan ekonomi yang tinggi (seperti Amerika Serikat, Selandia Baru dan Hong Kong),bertumbuh lebih cepat dari Negara-negara dengan kebebasan ekonomi menengah (seperti Inggris, Jerman dan Negara-negara Skandinavia), dan bertumbuh jauh lebih cepat dari Negara-negara dengan tingkat kebebasan ekonomi rendah (seperti Venezuela dan Iran). (Informasi penelitian ini bisa anda dapatkan dari buku karya Mark Skousen berjudul “The Making of Modern Economic”, yang sudah di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia “Sang Maestro: Sejarah Ekonomi Modern”, yang bisa dibeli di gramedia, atau dipinjam ke saya, dengan syarat ketentuan berlaku J. Sehingga jika anda lihat apa sebenarnya resep utama dibalik kemakmuran suatu bangsa? Jawabannya terletak pada sebuah tulisan berusia lebih dari 200 tahun lalu dengan judul yang mempertanyakan pertanyaan yang sama “Penyelidikan Terhadap Sifat dan Penyebab Kemakmuran Bangsa” karya Adam Smith : “Ketika seseorang bekerja sekeras mungkin, dengan menggunakan modalnya untuk mendukung industry didalam negeri dan menuntun industry ini untuk menghasilkan mungkin nilai yang tertinggi … Dia pada dasarnya tidak tentu tidak bermaksud memajukan kepentingan publik, dan tidak tahu bagaimana caranya memajukan kepentingan umum … dia bertujuan hanya untuk mengamankan dirinya sendiri, dan dengan mengarahkan industrinya untuk menghasilkan nilai yang tertinggi, tujuannya hanya keuntungan pribadinya; dan dia dalam kasus ini, sebagaimana banyak kasus lainnya dituntun oleh tangan tak Nampak untuk mencapai tujuan akhir yang bukan merupakan tujuannya. Dengan mengejar kepentingan pribadinya, dia sering memajukan kepentingan masyarakat lebih effektif dari pada ketika dia dengan sengaja bertujuan memajukannya. Aku tak pernah melihat begitu banyak kebaikan yang dilakukan (bagi masyarakat - penerjemah) melebihi kebaikan yang merupakan efek perdangan.”

Faktanya, terimakasih terhadap kebebasan pasar, kita sekarang punya teknologi yang memudahkan hidup kita. Kita jauh melebihi leluhur kita yang banyak hanya mampu memenuhi kebutuhan tidak lebih dari satu hari, dan harus berusaha lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hari berikutnya. Sekarang, kebanyakan dari kita punya lebih banyak kesempatan untuk memajukan kebudayaan. Lebih banyak waktu untuk membaca buku, aktif dalam diskusi public, dalam ilmu pengetahuan, dan berekreasi, mempercantik diri, main game, dan mengejar impian masing-masing.

Mitos : Dalam ekonomi liberal, yang kaya lebih kaya dan miskin lebih miskin. Yang punya modal berkuasa.

Fakta : Fakta ini saya kutip dari buku “The Making of Modern Economic” : “Pekerjaan stastistik modern oleh Stanley Lebergott dan Michael Cox mengkonfirmasi pemikiran pandangan Smithian ini (bahwa yang miskin juga bertambah sejahtera – Penj.) dan menyangkal kiritik yang dipercaya banyak orang bahwa dibawah system pasar bebas yang kaya menjadi lebih kaya dan miskin lebih miskin. Yang miskin juga menjadi kaya, menurut studi terbaru oleh Lebergott (1976) dan Cox (1999). Stanley Lebergott, professor emeritus di Wesleyan University, mepelajari pasar consumer individual dari makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, perlengkapan rumah tangga, transportasi, kesehatan, rekreasi dan agama. Sebagaimana dia mengembakan statistik… yang menunjukan pertumbuhan standar hidup semenjak tahun 1900 sampai 1970.
Sebagaimana table Lebergott tersebut menunjukan, standar hidup meningkat secara substansial untuk semua kelas, termasuk yang terbawah, pada abad keduapuluh. Dia mengkonfirmasikan pernyataan yang pernah dibuat oleh Andrew Carnagie, “Kapitalisme merubah kemewahan menjadi kebutuhan.” … Penelitian lain yang dilakukan Michael Cox, ekonom dari Bank Sentral Dallas, dan Richard Alm, penulis laporan bisnis dari Dallas Morning News, menyimpulkan bahwa harga real dari perumahan, makanan, bensin, listrik, layanan telepon, perlengkapan rumah, pakaian dan kebutuhan sehari-hari lainnya, turun secara signifikan selama abad keduapuluh. Peneliti juga menunjukan bahwa yang miskin di Amerika juga menunjukan perkembangan gradual dari kehidupan ekonomi mereka. Lebih banyak orang memiliki rumah, mobil, dan produk consumer lainnya lebih dari zaman sebelumnya, dan televisi bahkan ditemukan dirumah termiskin.”

Banyak dari pengkritik pasar bebas menganggap bahwa system pasar bebas adalah system hukum rimba dimana yang punya modal yang paling kuat. Padahal dalam kenyataannya system pasar bebas hanya akan berhasil ketika ada peraturan yang mencegah seseorang melukai yang lain. System pasar bebas atau liberalisme, atau kapitalisme, apapun anda menyebutnya adalah system yang paling demokratis dan damai. Walaupun seseorang, contohnya Bill Gates, menjadi kaya, bukankah itu karena orang lain menghargai kerja kerasnya dan mau membayarnya untuk itu? Dia tidak pernah memalaki orang untuk tersebut. Semuanya dihasilkan dari kerja keras, inovasi dan kreativitas. Tetapi apakah memang modal satu-satunya penentu keberhasilan dalam system pasar bebas? Tentu saja ini hanya sekedar mitos belaka. Kalau seandainya modal satu-satunya variable penentu keberhasilan, kita tidak akan pernah melihat Bill Gates, Steve Jobs, Paul Allen, Walt Disney, Ray Kroc, McDonalds Bersaudara,Thomas Alva Edison, Akio Morita, Michael Dell, dan banyak wirausahawan lainnya yang berhasil bukan karena kepemilikan modal, tetapi karena kerja keras, penghematan, kemauan, determinasi. Bukankah ini nilai-nilai yang mulia yang muncul dari pasar bebas, yang saya heran kenapa Cuma keserakahan dan keserakahan saja yang digembar-gemborkan para penentang kebebasan. Bukan hanya para usahawan saja yang diuntungkan oleh pasar bebas. Orang-orang seperti Michael Jordan, Arsene Wenger, Pablo Picasso, Michael Jackson, The Beatles, Rowan Atkinson, Charlie Chaplin, Pele, Albert Einstein, Billy Joel, dan jutaan lainnya yang membuat hidup kita lebih nyaman dan mengembangkan kebudayaan kita, adalah hasil dari pemikiran yang pro kebebasan. Pemikiran anti kebebasan hanya menghasilkan para dictator dan penguasa seperti para Paus abad pertengahan, Jenghis Khan, Lenin, Stalin, Hitler, dll.

Mitos – mitos ini menuntun kita kepada mitos yang paling besar : Indonesia kurang bisa maju karena kekurangan SDM.

Fakta : Ada dua ratus juta penduduk Indonesia. Ada dua ratus juta potensi, ada begitu banyak kreativitas, kemampuan, keahlian, dan tentu saja mimpi dan impian. Seandainya kita bisa lepaskan dua ratus juta manusia ini dengan bebas mengejar kebebasannya, maka tentu saja kesejahteraan Indonesia pasti akan tercapai.*(Juan Mahaganti)

EGALITER ATAU KESETARAAN

Konsep equality (kesetaraan) yang terkandung dalam pemahaman ordo liberal lebih bermakna sebagai kesetaraan dalam kesempatan dan didepan hukum. Kesetaraan muncul dari penerapan kebebasan ekonomi. Kesamaan dalam pedapatan dan kepemilikan tidak dikenal oleh ekonomi pasar sosial.
 Semua manusia “setara” di mata hukum. “Kesetaraan” jender perlu diarusutamakan. Setiap warga negara memiliki hak yang ”setara” untuk mendapat perlakuan yang adil. ”Kesetaraan” hak bagi perempuan harus ditegakkan. Setiap warga negara berhak atas ”kesetaraan” kesempatan kerja.”
 
Apa sih Kesetaraan Itu?
 Dua benda dikatakan memiliki kesetaraan jika keduanya identik dalam satu hal atau lebih. Kalau A dan B tingginya 1,5 meter, maka keduanya setara dalam tinggi badan. Jika C dan D bergaji tiga juta rupiah per bulan, keduanya memiliki kesamaan pendapatan. Jika E dan F memiliki kesempatan yang sama dalam kuis TV, maka keduanya berkesempatan sama untuk menang. Yang pasti, tidak ada dua obyek fisik yang benar-benar sama dalam semua hal. Bahkan dua benda buatan manusia yang kita anggap identik tetap berbeda susunan dan posisi atomnya.
Apalagi manusia. Dalam artikelnya Wolftein membahas tiga macam kesamaan:

1) Kesetaraan secara politik—artinya hak terhadap kehidupan, kebebasan dan kepemilikan, tanpa gangguan dari pihak eksternal terhadap hal-hal tersebut;
 2) Kesetaraan secara ekonomi, yang esensinya adalah kesamaan pendapatan atau kekayaan;
 3) Kesetaraan secara sosial—yang dapat berupa (a) kesamaan status sosial, (b) kesetaraan dalam kesempatan, atau (c) kesamaan perlakuan, atau (d) kesamaan pencapaian.

 Kesetaraan, Kebebasan dan Keadilan
Dengan cepat dapat diperlihatkan bahwa persamaan secara ekonomi dan sosial hanya dapat diraih dengan mengorbankan kesetaraan politis, sebab manusia berbeda dalam hal kemampuan, intelejensia, dan atribut-atribut lainnya. Dalam alam kebebasan, pencapaian, status, penghasilan dan kekayaan orang akan berbeda-beda. Seorang penyanyi berbakat akan mampu menarik penghasilan yang lebih besar dari seorang penggali kubur. Dan lain sebagainya.
 Hanya ada satu cara agar semua orang dapat menjadi setara dalam hal ekonomi atau sosial, yaitu melalui: redistribusi secara paksa terhadap kekayaan dan pelarangan terhadap perbedaan sosial. Menurut Nozick dari Harvard Philosophy Department, dalam Anarchy, State and Utopia, kesetaraan ekonomi dan sosial membutuhkan intervensi pemerintah yang berkelanjutan tanpa henti terhadap transaksi-transaksi pribadi. Bahkan pun jika penghasilan disamaratakan, hal ini akan segera tidak setara jika orang masih memiliki kebebasan dalam membelanjakan uangnya. Kesetaraan ekonomi dengan demikian hanya dapat dipertahankan dalam sistem kontrol totalitarian terhadap kehidupan orang, atau pelucutan kebebasan masyarakat dalam mengambil pilihan dan menggantikannya dengan keputusan sentralistik penguasa.
 Manusia bebas tidak setara secara ekonomi; manusia yang setara secara ekonomi, bukanlah manusia bebas. Kesetaraan ekonomi dan sosial hanya dapat dilakukan melalui interferensi koersif (yang bersifat memaksa)—di sini disebut sebagai egalitarianisme koersif.

Persamaan sebagai Ideal Etis
 Adalah kenyataan bahwa orang berbeda satu dari lainnya. Pertanyaannya: haruskah orang berbeda? Ini pertanyaan etis; dan egalitarianisme adalah doktrin etis. Kesulitan utama kita dalam berurusan dengan hal-hal etis juga disebabkan oleh pandangan yang mengatakan bahwa etika adalah soal opini semata, dan bahwa satu sistem moral sama baiknya dengan sistem moral lainnya.
 Tetapi setiap kode/doktrin etis dan dapat dinilai setidaknya dengan tiga butir kriteria:

(1) Apakah hal tersebut logis—apakah doktrin tersebut memiliki konsep dasar yang bermakna dan argumen-argumen yang diajukan sahih;

(2) Apakah hal tersebut realistis—apakah doktrin tersebut memungkinkan manusia hidup bersama, ataukah justru bertentangan dengan kodratnya sendiri sebagai manusia, dan;

(3) Apakah hal tersebut diinginkan—apakah konsekuensi-konsekuensinya sesuai dengan klaim-klaim yang diajukan atau justru bertentangan sama sekali; dan jika doktrin tersebut diterima, apakah hal tersebut membawa kebahagiaan manusia, ataukah justru kekecewaan dan keputusasaan?
 
Kriteria tersebut dapat dipakai untuk menguji doktrin egalitarianisme koersif.

  1. Apakah egalitarianisme-koersif logis? Egalitarianisme menyatakan bahwa semua orang harus setara, tetapi tidak banyak pihak egaliter yang mendefinisikan apa persamaan tersebut. Persamaan secara penuh adalah hal mustahil, sehingga konsep ini dapat seketika kita tolak. Konsep-konsep kesetaraan dalam bidang ekonomi dan sosial perlu didefinisikan secara pasti, karena maknanya berbeda-beda. Hingga definisi diberikan dengan jelas, doktrin egalitarianisme tidak dapat dianggap logis.
  2. Apakah egalitarianisme-koersif realistis? Orang berbeda-beda dan memiliki sistem nilai yang berbeda pula. Karena hal tersebut adalah bagian dari kodrat dan kondisi manusia, maka tuntutan agar semua ini ditinggalkan adalah sesuatu yang bertentangan dengan kodrat manusiawi, dan tidak realistis.
  3. Apakah egalitarianisme-koersif diinginkan? Egalitarianisme koersif mengimplikasikan dunia tanpa wajah di mana orang-orangnya dapat saling dipertukarkan. Impian terhadap dunia semacam ini lebih menyerupai mimpi buruk daripada sebuah cita-cita, dan memang demikian adanya.

Negara yang pernah mempraktikkan kesetaraan ekonomi dan sosial adalah Kamboja di bawah kepemimpinan Pol Pot. Di bawah rejimnya, seluruh populasi dipaksa meninggalkan kota dan semua orang dari berbagai usia dan status sosial dipaksa tinggal di desa dan bekerja sebagai buruh tani di lahan-lahan pertanian kolektif. Di Kamboja Pol Pot, semua orang harus berpikir, bekerja, dan berkeyakinan sama; setiap pemberontak akan dibunuh seketika di tempat. Saat ini di Kamboja utara dapat ditemui model perkampungan a la Pol Pot, di mana rumah-rumah penduduk tertata rapih, bersih dan berjajar identik. Di dekat perkampungan tersebut adalah kuburan massal di mana ratusan kerangka manusia dikuburkan—sisa-sisa keberadaan sekelompok manusia yang mencoba mempertahankan individualitasnya. Perkampungan kuburan massal tersebut adalah simbol yang pas bagi egalitarianisme koersif

Sementara egalitarianisme koersif mengenakan topeng sebagai doktrin etis, kenyataannya justru sebaliknya. Etika mempra-asumsikan bahwa manusia mampu membedakan kebajikan dari kebathilan. Tetapi doktrin egalitarianisme koersif menuntut agar kita memperlakukan manusia secara sama, tanpa memerdulikan perbedaan-perbedaanya, termasuk dalam hal kebajikan. Menuntut agar orang yang bajik dan yang buruk diperlakukan setara, adalah melakukan hal etis yang secara prinsip mustahil dipenuhi.

Ringkasnya, egalitarianisme koersif tidak logis karena dia mendefinisikan apa isi dan definisi “kesetaraan” tersebut.; dia tidak realistis karena mengharuskan kita menolak nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri; dan tidak diinginkan karena pada hakikatnya bertujuan menciptakan masyarakat manusia seperti koloni serangga. Egalitarianisme koersif gagal sebagai sebuah doktrin; namun secara emosional dia masih tetap menawan hati banyak orang. *(M.Husni Thamrin)