Rabu, 05 Januari 2011

Tunjangan Warga

“Siapa yang secara konsekuen menghendaki terciptanya masyarakat sipil yang  memiliki  lebih banyak tanggungjawab terhadap diri sendiri dan menerapkan konsep persaingan, maka dalam masyarakat sipil terbuka seperti ini harus ada jaminan yang lebih baik terhadap risiko dan solidaritas. Sebuah masyarakat sejahtera yang kesejahteraannya dicapai berkat penerapan tatanan ekonomi pasar dan kerajinan warganya dapat menciptakan keamanan tersebut melalui sistem tunjangan warga.”
                                                                                              Otto Graf Lambsdorrf (1994)



Kalau yang satu menganggap masalah tunjangan warga ini terlalu rumit, maka yang lain tercengang-cengang: “Ah, hanya sebegitu saja? Sebegitu mudah?” Apabila dalam perdebatan tentang “tunjangan warga” (Bürgergeld), “upah gabungan” (Kombilohn) dan “pajak negatif” (Negativsteuer) kita tinggalkan dulu istilah-istilah aneh tersebut, maka masalahnya pun menjadi mudah. Yang dimaksud dengan “tunjangan warga” adalah jumlah uang yang akan dibayar kantor pajak sebagai saldo dari  pajak penghasilan dan tuntutan atas bantuan sosial (“Transfer-Subjek”) yang didanai dari pajak kepada warga yang berpenghasilan kecil. Tunjangan ini bersifat bantuan universal dan fungsinya menggantikan bantuan-bantuan yang selama ini diatur oleh berbagai jawatan pemerintah, yakni bantuan sosial, bantuan untuk penganggur, tunjangan tempat tinggal, tunjangan keluarga, “Erziehungsgeld” (tunjangan yang diberikan kepada ibu atau atas dasar tertentu kepada orang tua laki-laki untuk masa  pendidikan/mengasuh anaknya) dan tunjangan pendidikan serta bantuan yang disebut bantuan obyek (Objekt-Hilfen) terutama seperti bantuan untuk “pembangunan tempat tinggal sosial”. Dengan sistem tunjangan warga redistribusi yang saat ini ‘tersembunyi’ dalam sistem-sistem sosial menjadi transparan.

Kantor pajak dapat menguji efisiensi pajak atau hak pemberian bantuan dengan lebih baik daripada jawatan-jawatan pemberi bantuan yang hampir tidak terkoordinasi itu. Perhitungan wajib pajak dan tuntutan atas bantuan secara sentral membuat bantuan sosial lebih terarah. Birokrasi pun berkurang jika negara tidak memungut uang dari warga yang satu untuk kemudian melalui instansi transfer (kantor yang memberikan bantuan) memberikannya lagi kepada yang lain sebagai bantuan. Kantor pajak menyelidiki semua penghasilan seperti yang selama ini terjadi. Ada perbedaan mendasar antara perhitungan yang dilakukan kantor pajak dan jawatan sosial. Kalau jawatan sosial membuat perhitungan atas dasar seluruh penghasilan kerja sebagai acuan pemberian bantuan sosial, perhitungan kantor pajak yang mengacu pada basis tunjangan warga (Basis-Bürgergeld) lebih kecil, misalnya 50%. Ini merupakan ransangan yang membuat pekerjaan dengan upah rendah lebih atraktif daripada bantuan sosial.  Apabila bantuan melebihi wajib pajak maka kantor pajak membayar tunjangan warga; di atas batas bantuan ini si warga membayar pajak penghasilan. Perhitungan 50% ini dipilih dengan latar belakang pekerjaan jelas lebih baik daripada sekedar menerima bantuan untuk penganggur atau bantuan sosial. Contoh konkritnya: apabila seorang single mother dengan putranya yang berusia 16 tahun (pelajar) tinggal di sebuah kota kecil maka ia akan memperoleh 1.800 DM. Jumlah ini merupakan jumlah keseluruhan bantuan bagi si ibu yang tidak bekerja. Tapi, kalau si ibu sebagai pramuniaga paruh waktu berpenghasilan 1.000 DM tanpa pajak (800 DM setelah dipotong untuk asuransi sosial) maka si ibu akan memperoleh total 2.350 DM. Ini berarti ia mendapat tambahan 550 DM kalau ia bekerja. Perhitungannya adalah sebagai berikut: jumlah penghasilan tanpa pajak, yaitu 1000 DM + gaji bersih yang dipotong 50% berarti 400 DM +  150 DM (kebutuhan tambahan untuk yang bekerja) maka jumlah tunjangan warga (Bürgergeld) yang diperoleh adalah 1.550 DM

Peluang bagi teciptanya lebih banyak lapangan kerja dan bagi kecocokan antara pekerjaan dengan segi pendidikan yang baik terletak pada kemungkinan pihak perusahaan untuk menawarkan lapangan kerja kepada orang-orang yang kurang atau berkualifikasi rendah dengan upah yang dapat perusahaan bayarkan. Penambahan pendapatan para pekerja dengan upah rendah melalui model tunjangan warga mempunyai nilai positif. Bagi si ibu pramuniaga misalnya, ketergantungannya pada bantuan sosial dapat ia tukar dengan partisipasi pada dunia kerja dan dengan kesempatan untuk menambah kualifikasinya sendiri. Selain itu hal tersebut baik untuk pendidikan si anak.  Dengan adanya ransangan untuk mempunyai kehidupan yang lebih bebas dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri berarti model tunjangan warga ini secara tidak langsung menyinggung kembali sebab-sebab tingginya tingkat pengangguran orang-orang yang kurang berkualifikasi. Suatu masalah yang sudah disinggung oleh bapak gagasan tunjangan warga modern, Milton Friedman. Dari gagasannya inilah kemudian di AS sejak 1975 diterapkan konsep “yang ketat” sebagai “Earned Income Tax Credit” yang sangat sukses (jumlah total potongan pajak bagi pekerja dengan upah rendah).

Sikap skeptis terhadap konsep tunjangan warga ini muncul karena adanya kesalahpahaman tentang fungsi aturan politik dan teknik sistem tunjangan itu sendiri. Dan sebagian juga karena adanya kekhawatiran yang perlu ditanggapi serius bahwa pemberian subsidi untuk menciptakan lapangan kerja dengan upah rendah berarti “jaring pengaman sosial” telah dibentangkan. Padahal penelitian empiris terbaru menegaskan bahwa hal yang ditekankan dalam gagasan penciptaan lapangan kerja dengan upah rendah tersebut bukanlah adanya subsidi atau tidak. Melainkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana memberikan bantuan yang paling efektif dengan pekerjaan reguler.  Konsep tunjangan warga merupakan suatu konsep bantuan yang terarah (bantuan subjek) dan lebih baik daripada semua bantuan obyek dan konsep pengadaan lapangan kerja untuk dijadikan jembatan menuju pasar kerja pertama. Selain itu, dengan konsep tunjangan warga pengujian kesediaan untuk membalas jasa dapat lebih dipercaya. Karena apakah seorang pekerja yang sehat dalam rangka balas jasanya bersedia “menerima pekerjaan yang layak” atau “memenuhi syarat”, itu merupakan syarat bagi pihak perusahaan untuk menciptakan lapangan kerja yang dapat mereka bayar. Tidak ada pekerjaan gratis. Ini terlilustrasi pada contoh kasus si ibu pramuniaga.

Para penemu sistem tunjangan warga menyebut pajak penghasilan mereka yang telah dipermudah secara radikal itu “Bürgersteuer” (pajak rakyat), dikombinasikan dengan integrasi pengenaan pajak penghasilan dan transfer sosial (Sozialtransfer). Nama “Bürgergeld“ (tunjangan warga) yang sejak awal menjadi bahan perdebatan sebenarnya hanya mengacu pada bagian transfer dalam pajak penghasilan yang diintegrasikan itu dengan tarif pajak secara umum. Tapi istilah tarif pajak berkonotasi negatif.  Karena itulah kemudian diangkat lagi istilah-istilah yang pernah muncul sebelumnya untuk istilah “Bürgergeld”, yaitu “Negativsteuer” (pajak negatif), “negative Einkommensteuer” (pajak penghasilan negatif)  atau sejak tahun 60-an “negative income tax”.  Namun selanjutnya istilah “Bürgergeld”- lah yang digunakan. Alasannya: dengan adanya ‘kelanggengan’ pengangguran di sektor pekerjaan dengan upah rendah kepentingan difokuskan pada bidang pajak. Artinya, bidang pajak mengatasi pengangguran itu dengan cara mengatur sistem tunjangan warga di mana pekerja dengan upah rendah memperoleh tambahan sebagai pendapatan keseluruhan melalui tunjangan warga. Ini berarti setiap konsep tunjangan warga sama dengan upah gabungan (“Kombilohn”). Karena itu konsep ini kadang-kadang tertukar dengan konsep-konsep “Kombilohn” yang sama sekali berbeda.

Konsep-konsep yang dimaksud terakhir cenderung merupakan kebalikan dari konsep yang dimaksud oleh para penemu “Bürgersteuer” (pajak warga) dan “Bürgergeld” (tunjangan warga) sebagai aturan pajak dan transfer dari satu sumber. Dengan terjadinya peralihan menuju pembaharuan ekonomi pasar di tahun 80-an Wolfram Engels, Armin Gutowski, Walter Hamm, Wernhard Möschel, Wolfgang Stützel, Carl Christian von Weizsäcker, Hans Willgerodt (“Kelompok Kronberg”) dan Joachim Mitschke  menghendaki perlunya pemisahan antara bagian pasar dengan transfer (bantuan) sosial, diciptakannya lapangan kerja dan reformasi sistem sosial  secara mendasar. Mereka berpendapat, apabila negara ikut campur dalam pasar biasanya hal itu dilakukan dengan niat politik tertentu. Akibatnya adalah berkurangnya efisiensi pasar. Dengan penerapan pajak warga terdapat satu instrumen yang merangkum semua niat pelaksanaan perimbangan sosial.  Dengan demikian baru mungkin untuk mengembalikan pasar kepada fungsinya secara menyeluruh.


Literatur tentang topik tunjangan warga (Bürgergeld)

  • Kelompok Kronberg, Bürgersteuer (Pajak Warga), Institut Frankfurt 1986: Penggambaran terbaik tentang gagasan dasar sistem tunjangan warga dengan mengacu pada reformasi pajak sesungguhnya.

  • Joachim Mitschke, Steuer- und Transferordnung aus einem Guss (Aturan Pajak dan Transfer dari Satu Sumber), Baden-Baden 1985: Karya standar bagi semua yang ingin mengetahui secara tepat tentang topik ini.

Idem., Politische Optionen der Bürgergeld-Konzeption (Opsi-Opsi Politik Konsepsi Tunjangan Warga), Institut Liberal Yayasan Friedrich-Naumann 2001: Ringkasan tentang jalan menuju konsep tunjangan warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar